Memilih Pemimpin dalam pandangan Islam

Memilih pemimpin ada pertanggung jawabannya, tak memilihpun (golput) kelak ada pertanggung jawabannya diakhirat.

Kondisi darurat pemimpin bangsa saat ini menjadi sebuah dilema bagi umat islam, ibarat saat kelaparan tak ada makanan halal sedikitpun dijumpai kecuali makanan haram.

Pilihlah pemimpin yang memiliki aqidah islam, yang mau membela islam, yang tidak ANTI syari’at islam dan tidak membencinya.

pemimpin

Korupsi memang perbuatan yang melanggar hukum, tapi jauh lebih berbahaya lagi perbuatan PEMURTADAN, ANTI SYARI’AT ISLAM, TAK BERAGAMA, PENJAJAHAN, dan PENODAAN AGAMA.

Karena itulah sebagaimana sabda nabi saw :

من و لي من امور امتي شيئا ثم لم يجتهد لهم ولم ينصح فالجنة عليه حرام

Barang siapa yang diberi amanah (berupa kekuasaan) atas umatku, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk (kemashlahatan) mereka, dan tidak memberi nasihat terhadap mereka, maka haram baginya masuk kedalam surga (al hadits)

Al mawardi dalam kitabnya al ahkam al sulthaniyah, juz 1 hal 3 :

الا مامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا

Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengelola dunia.

Maka dari itu sesuai kaidah fiqhiyyah :

يقدم في كل ولاية من هو اعظم بمصلحة

Seseorang yang lebih besar membawa kemashlahatan harus lebih diprioritaskan untuk dipilih menjadi pemimpin.

Ibn Umar r.a berkata : saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal-hal yang dipimpinnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Abu maryam al’ Azdy r.a berkata kepada Muawiyah: saya telah mendengar Rasulullah SAWbersabda: siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka Allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari kiamat. Maka kemudian Muawiyah mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzy).

Kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukanlah sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah SWT. Lihat Q.S. Al-Baqarah 2:124, “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim”.

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah SWT, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah SWT di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: “Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan dikemudian hari (bila disia-siakan),” (H.R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi SAW ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: “Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. “Maka jawab Rasulullah SAW: “Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu”.(H. R. Bukhari Muslim).

Pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah SWTuntuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.

Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah SAW dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah “cerminan” siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW yang berbunyi: “Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian”.

Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)”.

Jadi, carilah pemimpin yang dekat dengan Ulama, carilah pemimpin yang dekat dengan Wali, carilah pemimpin yang dekat dengan Allah dan Rasulullah SAW, carilah pemimpin yang dekat dengan masyarakat. Bukan pemimpin yang dekat dengan Syaitan dan musuh2 Allah.

Pos ini dipublikasikan di Tsaqofah. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar