Masalah ayat atau hadits tasybih dalam ilmu tauhid

Masalah ayat atau hadist tasybih (Istawa, tangan atau wajah dan lainnya) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya.

1. Pendapat Tafwidh Ma’a tanzih
2. Pendapat Ta’wil

375927_233643276777035_232359448_n

1. Pertama adalah Tafwidh Ma’a Tanzih , yaitu menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafadznya akan merusak aqidah. Maksudnya Madzhab Tafwidh Ma’a Tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kepada Allah swt, dengan I’tiqad Tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)

Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT. Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunakan methode ini. Madzhab inilah yang juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah.

2. Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalui dalil lain. Maksudnya Madzhab Takwil yaitu menakwilkan ayat atau hadist tasybih sesuai dengan ke-Esaan dan Keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll. (Syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri). Pendapat ini juga terdapat dalam Alqur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam – imam ahlussunnah waljamaah.

IMAM ABU HANIFAH (Madzhab Tafwidh Ma’a Tanzih) TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT DIATAS ARASY.

Demikian dibawah ini teks terjemahan nash Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut:
“ Berkata (Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Hanafi, berkata)

ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرر عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غيراحتياج، فلوكان محتاجاً لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجاً إلى الجلوس والقرار ف قبل العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوًّا كبيرًا

Kami mengimani bahwa Allah ta’ala ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta dan mengatur alam ini dan tidak mampu mentadbirnya seperti juga makhluk-makhluk-Nya, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum dicipta Arasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang dari itu semuadengan kesucian yang agung.
Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah al-Imâm Abu Hanifah tahqîq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syaikh Abdullah al-Harari dalam ad-Dalîl al-Qawîm, h. 54, dan Mulla Ali al-Qari dalam
Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 70.

Amat jelas di atas bahwa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :

1. Tafsir Ibnu katsir Madzhab Tafwidh Ma’a Tanzih menolak makna zhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} فللناس في هذا المقام مقالاة جدا ليس هذا موضع بـطها وانّما نسلك في هذا المقام مذ هب السلف الصالح مالك والاوزاعي والثوري واليث بن سعد والشافعي واحمد واسحاق بن راهوية وغيرهم من ائمة المسلمين قديماً وحديثاً وهو امرارها كما جاءت من غير تكيف ولا تشبيه ولا تعتيل والظاهـر المتبادر الى أذهان المشبهين منفي عن الله لا يشبهه شيء من خلقه

Terjamahannya :
{ kemudian beristawa kepada arsy } maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang merincikan makna (membuka/menjelaskannya) (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’i dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’i dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang merincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (merincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan) dan (memaknai lafadz istiwa dengan) makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah) yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”

lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat dengan makna dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!

{ليس كمثله شيء وهو السميع البصير} بل الأامر كما قال الأئمة منهم نعيم بن حماد الخزاعي شيخ بخاري قال من شـبه الله يخلقه كفر ومن جحد ماوصف الله به نفسه فقد كفر وليس فيما وصف الله به نفسه ولارسوله تشبيـه فمن أثبت الله تعالى ما وردت به اللآيات صريحة والأخبار الصحيحة عل الوجه الذي يليق بجلال الله ونفي عن الله تعالى النفا ئص فقـد سلك سبيل الهدي

Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :
““Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”

Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :

  • Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!
  • ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.

  • disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya tidak melarang ta’wil.
    “…dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”

2. Sekarang akan disebutkan sebagian penafsiran Madzhab Ta’wil lafadz istawa dalam surah ar Ra’d:

1- Tafsir al Qurtubi
(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan

2- Tafsir al-Jalalain
(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya

3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:
makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulama Ahlu Sunnah yang lain…

4- Tafsir Ibnu Katsir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):
(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi
Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy yaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zhahir nash al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.

Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf
Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:

  1. masak (boleh di makan) contoh:
    قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah apel telah masak
  • التمام: sempurna, lengkap

  • الاعتدال : lurus

  • جلس: duduk / bersemayam,
    contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk diatas kursi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas kastil

  • استولى : menguasai,
    contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق
    Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.

  • Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?
    sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Thohawi (wafat 321 hijrah):
    ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر

    Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir.

    Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy karena arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh karena itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Sayyidina Ali r.a yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:

    ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته

    Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.

    (~Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.~)

    Pos ini dipublikasikan di Aqidah. Tandai permalink.

    Satu Balasan ke Masalah ayat atau hadits tasybih dalam ilmu tauhid

    1. Ping balik: Jumhur ulama Ahlu Sunnah salaf maupun kholaf “Allâh Istawâ ‘Alâ al-‘Arsy”..? | RHsyahroni

    Tinggalkan komentar