Jumhur ulama Ahlu Sunnah salaf maupun kholaf “Allâh Istawâ ‘Alâ al-‘Arsy”..?

Inilah beberapa pendapat ma’na “Allâh Istawâ ‘Alâ al-‘Arsy” para Imam madzhab Fiqih dan ulama Tafsir serta Muhaditsin :

Al-Imâm al-Mujtahid Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H), perintis madzhab Syafi’i, berkata:

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزليّة كما كان قبل خلقه المكان لايجوزعليه تغييْرفي ذاته ولا التبديل في صفاته

“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, lalu Dia menciptakan tempat dan Dia tetap pada sifat-Nya yang Azaliy ada sebelum terciptanya tempat (tanpa permulaan dan tanpa tempat). Tidak boleh bagi-Nya berubah pada Dzat-Nya, atau berubah pada sifat-sifat-Nya”

540497_233647923443237_432329980_n

Al-Imâm al-Mujtahid Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid, mensucikan Allah dari tempat dan arah, bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzîh. Dalam pada ini asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:

ومااشتهر بين جهلة المنسو بين إلى هذاالإمام الأعظم المجتهد من أنه قا ئل بشيء سن الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه

“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menyandarkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau (Ahmad ibn Hanbal) telah menetapkan adanya tempat.
Keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah juga merupakan keyakinan Syaikh al-Muhadditsîn; al-Imâm Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (w 256 H), penulis kitab yang sangat mashur; Shahîh al-Bukhâri. Para ulama yang datang sesudah beliau yang menuliskan penjelasan bagi kitabnya tersebut menyebutkan bahwa al-Imâm al-Bukhari adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah dari tempat dan arah. Salah seorang penulis Syarh Shahîh al-Bukhâri; asy-Syaikh Ali ibn Khalaf al-Maliki yang dikenal dengan Ibn Baththal (w 449 H) menuliskan sebagai berikut:

غرض البخاري في هذاالباب الرد على الجهمية المجسمة في تعلقها بهذه الظاهر، وقد تقرر أنّ الله تعالى ليس بجسم فلا يحتاج إلى مكان يستقر فيه، فقد كان ولامكان، وإنما أضاف المعارج إليه إضافة تشريف، ومعنى الارتفاع إليه اعتلاؤه – أي تعالى- مع تنزيهه عن المكان”

“Tujuan al-Bukhari dalam membuat bab ini adalah untuk membantah kaum Jahmiyyah Mujassimah, di mana kaum tersebut adalah kaum yang hanya berpegang teguh kepada zhahir-zhahir nash. Padahal telah ditetapkan bahwa Allah bukan benda, Dia tidak membutuhkan kepada tempat dan arah. Dia Ada tanpa permulaan dan tanpa arah dan tanpa tempat. Adapun penisbatan “al-Mâ’arij” (yang secara zhahir bermakna naik) adalah penisbatan dalam makna pemuliaan (bukan dalam makna Allah di arah atas). Juga makna “al-Irtifâ’” (yang secara zhahir bermakna naik) adalah dalam makna bahwa Allah maha suci dari tempat.” (Fath al-Bâri, j. 13, h. 416)

Asy-Syaikh Ibn al-Munayyir al-Maliki (w 695 H) berkata:

جميع الأ حاديث في هذه الترجمعة مطابقة لها إلا حديث ابن عباس فليس فيه إلا قوله “رب الرش” ومطابقته والله اعلم من جهة أنه نبه على بطلان قول من أثبت الجهة أخذا من قوله (ذِاْلمَعَارِجِ) (سورة المعارج/3)، ففهم أن العلو الفو قي مضاف إلى الله تعالى ، فبيّن المصنف- يعني البخاري- أن الجهة التي يصدق عليها أنها سماء والجهة يصدق عليها أنها عرش، كل منهما مخلوق مربوب محدث، وقد كان الله تعالى قبل ذلك وغيره، فحدثت هذه الأ مكنة، وقد مه يحيل وصفه بالتحيز فيها

“Seluruh hadits dalam tema ini memiliki kolerasi (dengan tema itu sendiri), kecuali bahwa dalam hadits Ibn Abbas yang di dalamnya tidak ada redaksi “Rabb al-‘Arsy”. Dan kolerasi hadits ini -wa Allahu A’lam- adalah untuk mengingatkan tentang sesatnya orang yang menetapkan arah bagi Allah karena bersandar dengan firman-Nya: “Dzi al-Ma’ârij” (QS. Al-Ma’ârij: 3), lalu ia memahami dengan salah bahwa Allah berada di arah atas.
Maka dengan ini penulis (al-Imâm al-Bukhari) menjelaskan bahwa arah langit dan arah arsy keduanya adalah makhluk Allah, keduanya baharu. Allah ada (tanpa permulaan) sebelum langit dan arsy dan segala sesuatu ada. Dengan diciptakan langit dan arsy oleh Allah maka terciptalah pula tempat dan arah. Sementara Allah ada tanpa permulaan, dengan demikian mustahil Dia disifati dengan tempat dan arah” ) Ibid, j. 13, h. 418-419 )

Kemudian al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari (w 324 H) mengatakan
sebagai berikut:

كان الله ولا مكان فخلق العرش والكرسي ولم يحتج إلى مكان، وهو بعد خلق المكان كما قبل خلقه

“Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan arsy dan Dia tidak membutuhkan kepada tempat. Setelah Dia menciptakan tempat Dia ada seperti sediakala sebelum ada makhluk-Nya ada tanpa tempat” ( Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 150)
Dengan demikian dalam akidah Ahlussunnah sangat jelas bahwa Allah tidak membutuhkan kepada arsy, kursi dan tempat. Perkataan al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari ini ditulis oleh al- Hâfizh al-Imâm Ibn Asakir yang beliau kutip dari al-Qâdlî Abul Ma’ali al-Juwaini.

Al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H) dalam karyanya Kitâb at-Tauhîd menuliskan:

إن الله سبحانه كان ولا مكان، وجائز ارتفاع الأ مكنت وبقاؤه على ماكان، فهو على ماكان، وكان على ما عليه الان، جل عن التغيير والزوال والاستحالة

“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Tempat adalah makhluk memiliki permulaan dan bisa diterima oleh akal jika ia memiliki penghabisan. Namun Allah ada tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, Dia ada sebelum ada tempat, dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat Dia tetap ada tanpa tempat. Dia maha suci
(artinya mustahil) dari adanya perubahan, habis, atau berpindah dari satu keadaan kepada keadaan lain” (Kitâb at-Tauhîd, h. 69)

al-Imâm al-Bayhaqi Dalam kitab karyanya berjudul al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, menuliskan sebagai berikut:

قال أبو سليمان خطابي: وليس معنى قول المسلمين: إن الله استوى على العرش هو أنه مماس له أومتمكن فيه أو متخيزفي جهة من جهاته لكنه بائن من جميع خلقه،هانما هوخبر جاء به التوقيف فقلنا به ونفينا عنه التكييف، (إذ_ليس كمثله شيء)

“Abu Sulaiman al-Khaththabi berkata: Sesungguhnya perkataan orang-orang Islam “Allâh Istawâ ‘Alâ al-‘Arsy” bukan dalam pengertian bahwa Allah menempel atau bersemayam di sana, atau bahwa Allah berada di arah atas. Sesungguhnya Allah tidak menyerupai makhluk-Nya. Dan sesungguhnya istawâ yang datang dalam al-Qur’an tentang sifat Allah adalah berita yang tidak perlu diperdebatkan, namun demikian kita harus menafikan makna sifat-sifat benda dari sifat Allah tersebut, karena seperti yang telah difirmankannya: “Dia Allah tidak menyerupai segala apapun, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. As-Syura:11)
(al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, h. 396-397)

Dan Masih banyak lagi para ulama Ahlu Sunnah salaf maupun kholaf yang berpegang teguh dalam ketauhidan yang lurus “Allâh Istawâ ‘Alâ al-‘Arsy” bukan dalam pengertian bahwa Allah menempel atau bersemayam di sana, atau bahwa Allah berada di arah atas. Baik dalam Pendapat Tafwidh Ma’a tanzih maupun Pendapat Ta’wil, sebagaimana yang telah dijelaskan di postingan ini..

Masalah ayat atau hadits tasybih dalam ilmu tauhid

Wallahu a’lamu bishawab.

Pos ini dipublikasikan di Aqidah. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar