Ketika Umar bin Khattab hendak memenggal kepala Hakam

Kamu telah datang daripada Jihad kecil menuju Jihad yang lebih besar.

Nasib malang menimpa salah seorang musyrikin Quraisy, Hakam bin Kaisan. Kekalahan kelompoknya dalam perang Badar mengubah jalan hidupnya sebagai tawanan dan hampir saja kehilangan kepala.

umar-ibnul-khattab-ilustrasi-_120716131701-856

Umar bin Khattab berniat akan memenggal kepala Hakam lantaran tak terlalu sabar menunggu keinsafan orang Quraisy tersebut atas ajaran Islam. Meski sebagai tawanan, Hakam tetap tak beranjak dari ajaran jahiliyahnya.

”Sebaiknya lepaskan saja ia. Kita serahkan saja kepada Rasulullah,” usul bawahan Umar, Miqdad bin Amr.

Mereka akhirnya sepakat membawa Hakam menghadap Rasulullah SAW. Dalam pertemuan itu, Hakam menerima banyak pelajaran dari Rasulullah.

”Ya Rasulallah, untuk apa Engkau mendakwahinya? Demi Allah, orang ini tidak akan masuk Islam sampai akhir abad. Biarkan aku memenggal kepalanya supaya ia kembali ke perut neraka Hawiyah,” protes Umar.

Rasulullah tak menoleh sedikit pun kepada Umar. Mungkin mengabaikannya. Tapi, Hakam akhirnya benar-benar jatuh hati dengan Islam.

Menyaksikan kebijaksanaan Nabi dan proses Hakam memeluk Islam, Umar pun menyesali perbuatannya. ”Bagaimana aku sampai membantah Nabi SAW untuk perkara yang sesungguhnya beliau lebih mengetahui?” katanya.

Diriwayatkan, Hakam pernah bertanya kepada Rasulullah, ”Apa itu Islam?”

”Engkau menyembah hanya kepada Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Engkau bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan utusan-Nya,” jawab Rasulullah.

”Sungguh aku telah memeluk agama Islam,” jawab Hakam.

Nabi segera menoleh kepada para sahabatnya. ”Seandainya saja aku memenuhi keinginan kalian (untuk membunuh Hakam) beberapa saat yang lalu, pasti ia sudah masuk neraka.”

Lihatlah, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memenuhi hawa nafsu (ketidak sabaran) Umar bin khattab radhiyallahu ‘anhu. Hal ini sesuai sebagaimana hadits dalam bagian ke-13 daripada Al-Fawa’id al-Muntakhah himpunan Imam Abu Hafs Umar bin Ja’far Al-Bashri ada menyebut hadis ini dengan sanad yang kuat.

Nashnya :

رقم الحديث: 63 ) حديث مرفوع( نا مُحَمَّدُ بْنُ غَالِبٍ , قَالَ : نا عِيسَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْبِرَكِيُّ , قَالَ : نا يَحْيَى بْنُ يَعْلَى , قَالَ : نا لَيْثٌ , عَنْ عَطَاءٍ , عَنْ جَابِرٍ , قَالَ : قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ , صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَوْمٌ عُرَاةٌ , فَقَالَ النَّبِيُّ , صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” قَدِمْتُمْ خَيْرَ مَقْدَمٍ قَدِمْتُمْ مِنْ جِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى جِهَادِ الأَكْبَرِ ” . قِيلَ : وَمَا جِهَادُ الأَكْبَرِ ؟ , قَالَ : ” مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ هَوَاهُ

Maksudnya: No hadits: 63 (hadis marfu’):

Muhammad bin Ghalib telah menceritakan kepada kami bahwa beliau berkata: Isa bin Ibrahim Al-Barki berkata: Yahya bin Ya’la At-Taimi Al-Kufi telah meriwayatkan kepada kami, bahwa beliau berkata: LAITS (bin Sa’ad Al-Misri, seorang ulama’ tsiqah) meriwayatkan kepada kami daripada ‘Atho’ (bin Aslam, seorang ulama tsiqah) daripada Jabir r,a. bahwasanya beliau berkata:

“Telah datang kaum kepada Rasulullah s.a.w. lalu Baginda s.a.w. bersabda: “Kamu semua telah datang daripada tempat yang sebaik-baiknya. Kamu telah datang daripada Jihad kecil menuju Jihad yang lebih besar.” Dikatakan: “Apa jihad lebih besar itu?” Rasulullah s.a.w menjawab: “Seseorang hamba mujahadah melawan hawa nafsunya”.

Adapun Laits dalam sanad ini bukanlah LAITS bin AIMAN dalam hadits Al-Baihaqi tetapi ianya adalah LAITS bin SA’AD Al-MISRI, seorang ulama’ yang tsiqah.

Dalam perkembangannya, Hakam berubah menjadi muslim yang sangat saleh dan taat. Bahkan Hakam turut berjuang di medan perang bersama Nabi hingga ia wafat sebagai syahid di Bi’r Ma’unah.

Bi’r Ma’unah adalah tempat syahidnya 70 sahabat pada bulan Shafar tahun ke-4 Hijriyah. Saat itu, Rasulullah mengungkapkan rasa dukanya yang mendalam atas peristiwa memilukan yang menimpa para sahabatnya selama beberapa hari dengan Qunut nazilah.

Artinya sehebat apapun Jihad Fisabilillah hendaknya tiada melepaskan pengelolaan Jihadun nafs (jihad melawan hawa nafsu), itulah Etika luhur yang senantiasa ada dalam diri Rasulullah saw, para sahabatnya serta para syuhada.

Pos ini dipublikasikan di Tsaqofah. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar