Kontroversi Bid’ah Menurut Pemahaman Salafuna Shaleh

Pada prinsipnya semua kamus bahasa Arab menyatakan bahwa bid’ah itu suatu perkara yang baru dengan tidak ada contoh sebelumnya. Si Pencipta itu disebut : Mubdi’ ( مبدع ) atau Mubtadi’ ( مبتدع ). Langit dan bumi pun disebut Bid’ah karena diciptakan Alloh tanpa ada contohnya terlebih dahulu. Alloh pun dinamai Al Badi’ yang artinya Pencipta yang tidak didahului dengan suatu contoh.

Secara Terminologi ( Istilah ) banyak ulama salafiyah yang mendefinisikan Bid’ah tersebut. Akan tetapi saya hanya menukil salah satu pendapat ulama yang telah mendapat gelar “Sulthan al ‘Ulama” yang bernama Imam ‘Izzuddin bin ‘Abd al-Salam, ia telah menjelaskan dalam Kitabnya Qowa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam (Beirut: Dar al kutub al-‘Ilmiyah. 1420 H/1999 M), jilid 2, Hal. 133-134 , sebagai berikut:

البِدعَة فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِى عَصِْر رَسُوْلِ الله صلى الله عليه و سلم

“Bid’ah itu adalah suatu amaliah keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasululloh Saw“

Lalu bagaimana dengan dalil :

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة و كلّ ضلالة فى النّار

“Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”

Jika kita mendalami ilmu bahasa Arab, niscaya kita akan memahami bahwa hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, adalah masih dapat menerima pengecualian, karena lafadz kullubid’atin adalah isim yang dimudhafkan kepada isim nakirah (dholalah) , sehingga masih bersifat ‘am (umum) gholibul bida’i bukan jam’ul bida’i, Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian..

Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: ”Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari’at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid’ah”. [Syarah Sahih Muslim, VI : 154].

Menurut ilmu balaghoh Setiap isim itu memiliki sifat. Bisa saja dia bersifat baik atau buruk. akan tetapi Sifat yang bermakna umum itu tidak ditulis dalam hadist tersebut, dalam ilmu Balaghoh di sebut حذف الصفة على الموصف “membuang sifat dari benda yang bersifat”.
Sedang untuk lafadz kullu yg kedua yaitu kullu dholalah finnar jika bersifat sama dgn kullu yg pertama maka cukup dgn wau athof yaitu kullu bid’atin WA dholalah finnar tp nyatanya tak begitu kan..?

“kullu” yang berarti “tiap-tiap” disebut “kullu kulliyah”
“kullu” yang berarti “sebagian” disebut “kullu kully”

Contoh “kullu kulliyah” :Firman Allah: كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

“Kullu nafsin dza’iqotul maut” yang artinya “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati” (QS : Al-Imran,185), juga hadits Nabi “Kullukum ro’in wa kullukum mas’ulun ‘an ro’iyatihi”, setiap kalian adalah penggembala dan diminta tanggung jawab atas gembalaannya.

Contoh “kullu kully” Firman Allah: وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
“wa ja’alnaa minal maa’i kulla syai’in hayyin” yang artinya “Dan telah kami jadikan dari air “kullu” (sebagian) makhluk hidup” (QS : Al-Anbiya, 30). Kalau “kulla syai’in” di sini diartikan “tiap-tiap/semua” maka bertentangan dengan kenyataan, bahwa ada makhluk hidup yang dijadikan Allah tidak dari air, seperti malaikat dari cahaya, dan jin juga syetan dari api.

Contoh “kullu kulliy” lagi ada dalam QS :Al Kahfi ,79) tentang Nabi Khidr yang merusak perahu yang bagus supaya tidak dirampas oleh raja yang serakah. Dia mengatakan alasannya merusak perahu مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا “Malikun Ya’khudzu Kulla safiinatin Ghoshban”, sebab ada raja yang merampas “kulla safinatin” , namun karena raja itu hanya mengambil perahu yang bagus, lafadz ‘kulla safinatin” tidak bisa diartikan “setiap perahu” namun harus diartikan “sebagian perahu”. Maka arti “kullu” itu ada dua yaitu “tiap-tiap (kullu kulliyah)” dan “sebagian (kullu kulliy)”.

Selanjutnya menurut Ilmu Ushl Fiqh Karena sifatnya yang umum, jadi hadist diatas harus di takhshiskan/ am al makhsus (dikecualikan) dengan hadist yang lain selama masih ada hadist yang tidak membatasi jangkauan makna hadist tersebut. Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh takhshis seperti ini disebut “Takhshis sunnah bisunnah” .

1.) Dan inilah hadits yg membatasi kata kullu tersebut:

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (thoriqoh/metoda/manhaj) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah (thoriqoh/metoda/manhaj) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

2.) Yang dilakukan oleh Khulafa’ al-Rasyidin
Dalilnya:

فعليكم بسنتى و سنّة ااخلفاء المهدين الرّشدين

Artinya: “Maka wajib bagi kamu memegang sunnahku dan sunnahkhulafa’ al-Rasyidin yang diberi hidayah”. (HR. Abu Dawud)
Seperti pembukuan al Quran, Sholawat taraweh berjamaah, adzan sholat jumat dua kali. Semua tidak pernah dicontohkan Nabi Muhammad Saw.

3.) Hasil dari ijtihad imam-imam mujtahid
Dalilnya:

عن معاذ بن جبل ان رسول الله صلى الله عليه و سلم لما بعثه الى اليمن قال كيف تقضى اذا عرض لك قضاءٌ, قال اقضى بكتاب الله قال فان لم تجد فى كتاب الله, قال فبسنّة رَسُوْلِ الله قال فان لم تجد فى سنّةِ رَسُوْلِ الله و لا فى كتاب الله, قال اجتهد رأيي و لاالو فضرب رَسُوْل الله صلى الله عليه و سلم صدره و قال الحمد الله الذي وفق رسول رَسُوْلِ الله لِما يرض رَسُوْل الله

Artinya : “Dari Mu’adz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah Saw ketika mengutusnya ke Yaman bertanya padanya. “Bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang diajukan kepadamu?” Mu’adz menjawab,”saya akan memutuskannya sesuai dengan yang tertera dalam kitabullah (al-Qur’an).” Rasul bertanya lagi,”kalau kamu tidak menemukannya dalam kitabullah?”. Jawab Mu’adz,”saya akan memutuskannya sesuai dengan sunnah Rosulullah”. Rasul bertanya lagi, “kalau kamu tidak menemukannya dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula menemukannya dalam kitabullah, bagaimana?” Mu’adz menjawab, “ketika itu saya akan berijtihad, mencurahkan segala pikiran saya tanpa ragu sedikitpun”. Mendengar jawaban itu, Rasulullah meletakan tangannya kedada saya seraya berkata, “ Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada urusan Rasulullah sehingga menyenangkan hati Rasulullah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
==============================================================

Kemudian marilah kita menyelidik , apakah yang dimaksudkan dengan “al-Sunnah” yang telah dilawankan dengan pasangannya “al-Bid’ah” didalam hadits riwayat al-Irbadh.
hadits Irbadh disisi Abi Daud dan al-Tirmizi , al-Tirmizi berkata Hasan Sahih , Ibnu Majah dan selain beliau

وعظنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم موعظة بليغة وجلت منها القلوب ودرفت منها العيون فقلنا يا رسول الله كأنها موعظه مودع فأوصنا فقال : أوصيكم بتقوى الله عز وجل والسمع وان تأمر عليكم عبد حبشي فأنه من يعش بعدي فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فان كل بدعة ضلالة

{Rasulullah s.a.w, telah memberi wa’adz/nasihat/wasiat kepada kami satu wa’adz yang agung sehingga hati kami terasa takut dan , maka kami berkata ” Wahai Rasulullah , seolah-olahnya wa’adz ini untuk yang terakhir, wasiatkanlah pd kami . Baginda bersabda : Saya berwasiat kepada kamu dengan bertakwa kepada Allah s.w.t dan dengarlah (patuhilah amir ) sekalipun bahwa diperintahkan kamu oleh seorang Habsyhi , Sesungguhnya….. sesiapa yang sempat hidup selepas wafatku akan melihat banyak perselisihan . Maka lazimkan olehmu berpegang dengan al-Sunnahku dan Sunnah al-Khulafa al- Rashidin al- Mahdiyyin , gigitlah ia dengan gigi gerham . Jagalah akan perkara-perkara baru, maka sesungguhnya setiap yang bid’ah adalah sesat}.

“Al-Sunnah” pada sisi bahasa Arab dan disisi Syara’ bermakna “al-Thoriqah” yaitu “Petunjuk Rasul s.a.w” . Penta’rifan begitu sebenarnya adalah yang paling tepat sebab hal itu telah diambil dari sisi pihak matan Hadits-hadits tersebut.
Oleh karena itu, “al-Sunnah” yang disebut diawal hadist tersebut adalah merupakan “Asal” ushul atau pokok , sedangkan perkara yang keluar atau terbit dikatakan furu’ dari asalnya,disebut “al-Bida’h”.

Lantas bagaimana dgn hadits Muslim dari Jarir r.a :

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (thoriqoh/metoda/manhaj) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah (thoriqoh/metoda/manhaj) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
yaitu maksudnya adalah “Thoriqoh- seperti makna-makna hadits lainnya..

Maka Thoriqoh Rasul s.a.w adalah PetunjukNya (al-Huda), apakah menerimanya atau menolaknya maka disebut juga al-Sunnah yang dimaksudkan dan ditafsirkan oleh hadits Jabir r.a dengan – Sunnah yang Baik- dan Sunnah yang buruk- yaitu Thoriqah yang baik atau Thoriqah buruk atau Petunjuk yang baik dan Petunjuk yang buruk. Disebut juga methoda.

Mendefinasikan al-Sunnah dalam hadis-hadis tersebut dengan makna-makna lain , seperti mana definasi “al-Sunnah” dalam ilmu Musthalah dan ilmu Usul Fiqh atau ilmu Fiqh , adalah kekeliruan yang membawa kepada bencana yang dahsyat dalam arena keilmuan.

1.Ta’rif al-Sunnah disisi ilmu Musthalah dimaksud ialah “hadits-hadits”.

2.Ta’rif al-Sunnah disisi ilmu Fiqh dan Ushulnya, bermaksud Muqobil (lawanan) bagi “al-Waajib”.

Kedua-dua bentuk ta’rifan tesebut adalah bertentangan dan tidak menepati kehendak hadits-hadits yang berkaitan. Karena ta’rif al-Sunnah pada sisi kedua bidang tersebut adalah bukan makna-makna yang difahami dari hadits-hadits yang berkaitan. Bahkan yang dimaksudkan dengan “al-Sunnah” atau “Sunnatur Rasul” disisi hadits-hadits tersebut adalah -ThoriqahNya- pada Perbuatan, Perintah, Menerima dan Menolak juga merupakan Thoriqah Khalifah-khalifahnya (Khulafaa al-Raashidin) , yang telah mengikuti ThoriqahNya pada Perbuatan, Perintah, Menerima dan Menolak.

Saya menegaskan , jika dipakai makna ayat “Sunnatun Hasanatun dan Sunnatun Sayyiatun” sebagai makna 2 ta’rifan yang tersebut adalah yang betul dan menepati kehendak lafaz hadits tersebut?, maka timbul kemusykilan yang besar pula, yaitu ” adakah pernah dijumpai dimana-mana petunjuk dalil bahwa terdapatnya satu contoh Sunnah buruk (Sunnatun Sayyiatun) dalam Perbuatan, perkataan dan cita-cita Nabi s.a.w..?

Tentu tidak…..!
==============================================================

Antara Bid’ah Huda (baik) dan Bid’ah Dlalalah (sesat). Allah ta’ala berfirman:

( (ورهبانية ابتدعوها ما كتبناها عليهم إلا ابتغاء رضوان الله) (سورة الحديد : 27

Maknanya: “… dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridlaan Allah” (Q.S. al Hadid: 27) >>>> lihat dalam ayat ini : ini fi’il atau kata kerja yg artinya mengada-adakan ,(lafadz bid’ah adalah kata isim (benda))

Allah memuji perbuatan para pengikut nabi Isa ‘alayhissalam yang muslim, yaitu melakukan rahbaniyyah (menjauhkan diri dari hal-hal yang mendatangkan kesenangan nafsu, supaya bisa berkonsentrasi penuh dalam melakukan ibadah), padahal hal itu tidak diwajibkan atas mereka. Hal ini mereka lakukan karena Allah semata.

Maka benarlah Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.

Pertama, riwayat Abu Nu’aim;

اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.

‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.

Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :

. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ

‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.

=============================================================

download

Dan Inilah beberapa pendapat para imam yang sudah diakui keilmuan dan kesolehannya :

Imam Syafii,

bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan dg sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dg ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”

Imam Nawawi

Bid’ah yg wajib, Bid’ah yg mandub, bid’ah yg mubah, bid’ah yg makruh dan bid’ah yg haram.
– Bid’ah yg wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan yg menentang kemungkaran,
– contoh bid’ah yg mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan
– Bid;ah yg Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan
– Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yg umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

Imam Qurtubi

kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi :
“seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud adalah hal hal yg tidak sejalan dg Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits riwayat Muslim:
“Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

Imam Suyuti

“Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yg Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani

“Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dlm naungan sesuatu yg dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dlm naungan sesuatu yg dianggap buruk oleh syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela).” (Fathul Bari juz 4 hal. 253)

Imam Ibnu Abdilbarr

“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah berdasar lisan arab (bahasa arab) adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dlm masalah agama menyalahi sunnah yg telah berlaku, maka itu bid’ah yg tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yg tidak menyalahi syari’at dan sunnah, maka itu (termasuk) sebaik-baik bid’ah (bid’ah hasanah) (Kitab al-Istidzkaar juz 5 hal. 152)

dan banyak lagi..

Artikel menarik lainnya

Apa yang ditinggalkan nabi belum tentu HARAM

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH : GOLONGAN YANG SELAMAT (al Firqah an-Najiyah)

Jumhur ulama Ahlu Sunnah salaf maupun kholaf “Allâh Istawâ ‘Alâ al-‘Arsy”..?

Masalah ayat atau hadits tasybih dalam ilmu tauhid

Nur Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam

white

Pos ini dipublikasikan di Tsaqofah dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar